Sikap Berlebih-Lebihan Terhadap Orang-Orang Sholih

Salah satu prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah memberikan sikap loyalitas (cinta) kepada siapa saja yang di cintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Dan orang-orang sholih termasuk suatu tho’ifah (golongan) terbaik dari umat Islam, sehingga mereka mendapatkan kecintaan, pujian dan nikmat dari Allah subhanahu wata’ala karena telah berhasil meniti shirothol mustaqim (jalan yang lurus).
فَأُولئك مَعَ الَّذِيْنَ أَنَعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ، وَ حَسُنَ أولئك رَفِيْقًا
“…, maka mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat atas mereka, dari kalangan para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar keimanannya), syuhada’, dan orang-orang sholih, dan mereka itu adalah sebaik-baik teman”. (QS. An Nisa’ : 69)
Maka mereka termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) dari kaum muslimin. Namun yang wajib diketahui, bahwa sikap wala’ yang akan mendapatkan ridha Allah ? dan balasan di sisi-Nya, bukan wala’ (kecintaan) yang dilandasi dengan hawa nafsu, akan tetapi suatu kecintaan yang dilandasi Al Qur’an dan As Sunnah.
Umat manusia dalam menilai keberadaan orang-orang sholih terbagi menjadi tiga golongan :
Pertama : Golongan yang meremehkan atau merendahkan kedudukan yang Allah berikan kepada mereka (tafrith).
Kedua : Golongan yang memiliki sikap pengkultusan dan pengagungan melebihi batas dari apa yang Allah ? karuniakan kepada mereka (ifroth).
Ketiga : Golongan yang adil dan tidak berbuat tafrith (meremehkan) maupun ifroth terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah ? mencintai sikap adil didalam menyikapi orang-orang sholih, yaitu tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan orang-orang sholih, bahkan memuliakan dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat. Sebagaimana Allah ? menjelaskan dalam banyak ayat-Nya, di antaranya :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil”. (QS. Al Hujuraat: 9) dan juga firman-Nya :
وَ كَذَلك جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kalian menjadi umat yang adil”. (QS. Al Baqarah: 143)
Demikian pula Allah ? dan Rasul-Nya ? melarang perbuatan ghuluw (ekstrim). Allah ? berfirman :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا في دِيْنِكُمْ وَ لاَ تَقُوْلُوا على اللهِ إلاَّ الْحَقَّ
“Wahai Ahlul Kitab janganlah kalian berbuat ghuluw (ekstrim) dalam beragama, dan jangan pula kalian mengatakan tentang Allah kecuali di atas kebenaran”. (QS. An Nisa’: 171)
Ghuluw adalah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela (sesuatu/seseorang).
Asy Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Walaupun khitob (sasaran) mengarah kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashara), namun khitob (sasaran) ini bersifat umum mencakup seluruh umat, sebagai tahdzir (peringatan) dari sikap Nashara terhadap Isa Ibnu Maryam (mereka meyakini Isa anak Alloh atau tiga dari yang satu -trinitas- red) dan sikap Yahudi terhadap Uzair (meyakini Uzair anak Alloh atau menganggap Isa adalah anak pezina – red).(Fathul Majid jilid 1, hal. 21)
Karena siapa saja yang di antara umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nashara, dan berbuat ghuluw di dalam beragama dengan cara ifroth (melampaui batas) atau pun tafrith (meremehkannya), maka sungguh ia telah menyerupai mereka. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fathul Majid jilid1, hal. 272)
Rasulullah ? berkata :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka”.
Oleh karena itu beliau ? mewanti-wanti kepada umatnya, supaya jangan berbuat ghuluw kepada diri beliau ? sendiri. Seperti halnya Yahudi dan Nashara telah terjatuh dalam perbuatan ghuluw. Beliau ? berkata :
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian berbuat ghuluw kepadaku sebagaimana Nashara telah berbuat ghuluw kepada Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakanlah Abdullah dan Rasul-Nya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Al Imam Al Bukhori meriwayatkan dari jalan Abdullah bin Abbas ?, bahwa Rasulullah ? berkata :
إِ يَّاكُمْ وَ الْغُلُو، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو
“Berhati-hatilah kalian dari bersikap ghuluw, karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw.”
Dan juga Al Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Abdullah bin Mas’ud ?, Nabi ? berkata :
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثًا )
“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”.

AWAL MULA TERJADINYA KESYIRIKAN
Awal mula munculnya kesyirikan di muka bumi adalah sikap ghuluw (ekstrim) kepada orang-orang sholih, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abdullah bin Abbas ? dalam riwayat Al Imam Al Bukhori, ketika menafsirkan firman Allah ? :
وَ قَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَ لاَ تََذَرُنَّ وَدًّا و لاَ سُوَاعًا و لاَ يَغُوْثَ و يَعُوْقَ و نَسْرًا
“Dan mereka berkata : “Janganlah kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan jangan pula meninggalkan wad, suwa’, yaghuts, ya’uq,dan nasr”.
Beliau ? berkata : “Ini adalah nama-nama orang sholih dari kaum Nabi Nuh, tatkala mereka meninggal, syaithon membisikkan kepada kaumnya : Buatlah patung-patung mereka di majlis-majlis mereka dahulu (seperti monomen-monomen- red), dan namailah patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kemudian kaum tersebut melakukannya dan belum sampai pada penyembahannya, hingga akhirnya kaum itu meninggal (digantikan oleh kaum berikutnya – red) dan dihapuskanlah ilmu, maka patung-patung tersebut pun disembah”.
Atsar Ibnu Abbas ? ini menceritakan kronologis, bagaimana upaya syaithon menggelicirkan manusia munuju jalan yang sesat melalui syubhat demi syubuhatnya, dari sikap pemulian dan pujian yang berlebihan kepada mereka, membuat monomen-monomen sebagai tempat peringatan berupa patung-patung, album film atau foto, atau buku-buku yang mengisahkan berbagai karomah yang mereka miliki. Setelah muncul generasi berikutnya syaithon membisikkan bahwa beribadah atau berdo’a kepada Allah ? di hadapan foto atau di samping patung atau kuburan mereka lebih khusu’. Kemudian setelah datang kaum berikutnya, syaithon membisikkan, bahwa do’a kalian akan lebih di dengar bahkan tidak akan dikabulkan oleh Allah ? tanpa kalian bertawasul dengan mereka. Syaithon membisikkan lagi pada generasi berikutnya bahwa orang-orang sebelum kalian, mereka dahulu ketika ditimpa paceklik berdo’a dan beristighotsah dengan khusu’ secara (langsung kepada mereka) di hadapan kuburan atau monumen tersebut. Kemudian setelah muncul generasi berikutnya dan dicabutnya ilmu, maka gambar, patung atau kuburan itu pun disembah.
Berkata Ibnul Qoyyim : “Lebih dari seorang dari ulama’ salaf berkata : “Tatkala orang-orang sholih tersebut telah meninggal, manusia pun beri’tikaf dan membikin gambar atau patung di samping kuburan mereka, kemudian setelah berganti dari generasi ke genarasi berikutnya, mereka pun menyembahnya”.

BAGAIMANA BENTUK-BENTUK GHULUW DAN AKIBATNYA ?
Pada pembahasan kali ini hanya mengacu kepada akibat dari sikap ghuluw (ekstrim) yang menyebabkan pelakunya terjatuh ke dalam kesyirikan atau perkara-perkara sebagai wasilah (perantara) menuju kesyirikan, karena jenis-jenis ghuluw terhadap mereka sangat banyak sekali. Bentuk-bentuk ghuluw yang terjadi dan bisa di cermati sendiri oleh kaum muslimin, diantaranya :
1. Menganggap bahwa beribadah seperti sholat atau berdo’a dihadapan gambar, patung, kuburan orang sholih (kyai, haba’ib atau yang lainnya) lebih mendatangkan rasa khusu’ dan khudhu’ kepada Allah ?. Ini merupakan bentuk ibadah yang bid’ah, munkar dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi ? dan para sahabatnya ?, sekaligus dia telah melanggar larangan Nabi ? membuat gambar atau patung, beliau ? berkata :
إِنَّ أََشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya adzab yang paling pedih pada hari kiamat nanti adalah para tukang gambar”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
dan juga menentang perkataan Rasulllah ? :
وَ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قَبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا القَبُوْرَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Dan sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka dahulu menjadikan kuburan para Nabi sebagai masjid-masjid, maka ketahuilah janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang dari perbuatan seperti itu”. (HR. Muslim)
Dan setiap tempat yang digunakan untuk sholat, maka dinamakan sebagai masjid, walaupun tidak ada bangunannya, sebagaimana Rasulullah ? berkata :
جُعِلَتْ لي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا
“Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan untuk bersuci”. (Muttafaqun ‘Alaihi) 2.
Berkeyakinan bahwa berdo’a kepada Allah ? sambil bertawasul dengan orang sholih yang sudah mati (kyai, habaib dan semisalnya) lebih diterima oleh Allah ?. Hal ini juga merupakan perkara yang bathil dan haram, karena tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi ?, bahkan Umar ? ketika di jamannya ditimpa paceklik, beliau tidak bertawasul kepada Nabi ? karena beliau ? sudah wafat, namun Umar ? meminta kepada paman Nabi ? untuk berdo’a kepada Allah ?.(Fatawa Arkanul Islam lisy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 182) 3.
Berkeyakinan bahwa Allah ? tidak akan menerima amalan seorang hamba kecuali jika menghadap Allah ? melalui wasilah (perantara) orang-orang sholih. Ini merupakan keyakinan yang batil dan haram karena sebagai jembatan menuju kesyirikan, padahal Allah ? berfirman :
وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّ قَرِيْبٌ, أُجِيْبَ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَان
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku amat dekat dan Aku mengabulkan orang yang bedo’a jika dia berdo’a kepada-Aku”. (QS. Al Baqarah: 186)
Bahkan Allah ? mengolok-olok orang-orang yang lalai lagi bodoh ketika menjadikan sebagian hamba-Nya sebagai wasilah, padahal orang-orang sholih tersebut butuh pada wasilah berupa ketaatan (amalan sholih) kepada-Nya dan tidak ada cara lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah ? :
أولئك الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ أيُّهُمْ أَقْرَبُ وَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُوْنَ عَذَابَهُ
“Mereka orang-orang yang diseru juga mencari wasilah menuju kepada Robb-Nya! siapa yang lebih dekat (kepada Allah- red) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya”. (QS. Al Isra’: 56)
4. Meyakini bahwa seorang wali atau orang sholh mengetahui ilmu ghoib atau mengetahui perkara-perkara yang akan terjadi. Ini pun juga merupakan aqidah yang batil dan juga sebagai wasilah (jembatan) yang menuju lembah kesyirikan. Rasulullah ? imam para rasul, tidaklah mengetahui perkara yang ghoib atau perkara yang akan terjadi apalagi mereka yang bukan termasuk dari kalangan para Nabi. Allah ? berfirman :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَ لاَ ضَرًّا إِ لآَّ مَا شَاءَ اللهُ وَ لَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسَتَكْثَرْتُ مَنَ الْخَيْرِ وِ لاَ مَسَّنِيَ السُّوءُ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfatan pada diriku dan tidak pula mampu menolak kemudhorotan kecuali yang di kehendaki oleh Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghoib, tentulah aku akan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudhoratan”. (QS. Al A’raf: 188)
5. Meyakini bahwa wali atau orang sholih (kyai, habaib dan semisalnya) mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot atau mampu menjawab do’anya orang yang berdo’a kepada mereka ketika masih hidup ataupun sudah mati. Hal ini merupakan kesyirikan yang nyata dan jelas-jelas menentang dakwah Rasulullah ? dan para nabi dan rasul. وَ لاَ تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لاَ يَنْفَعُكَ وَ لاَ يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِيْنَ
“Maka janganlah kamu berdo’a (beribadah) selain dari Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan pula memberi mudhorot padamu, kalau sekiranya kamu kerjakan sungguh kamu termasuk orang-orang yang dholim”. (QS. Yunus: 106)
dan juga Allah ? berfirman :
وَ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُوْنِ اللهِ مَنْ لاِ يَسْتَجِيْبُوا لَهُ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَ هُمْ عَنْ دُعَاءِهِمْ غَافِلُوْنَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah, yang tiada dapat memperkenakan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka”?.
Ini hanya sebagiab kecil dan masih banyak lagi perbuatan dhohir mu’amalah) atau i’tiqodiyyah (amalan batin) yang melampaui batas (ghuluw) terhadap orang-orang sholih.

TANYA-JAWAB
Tanya : Bagaimana rihlah atau safar hanya dalam rangka ziaroh ke kubur Nabi Muhammad ? , para wali dan sunan?
Jawab : Hal itu tidak boleh, karena Rasulullah ? berkata :
لاَ تَشُدُّ الرِّحَالَ إِلاَّ إلى ثَلاَثَة مَسَاجِدَ، المَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِي هذا وَ الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah kalian berkeinginan untuk safar kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsho”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Nabi ? tidaklah melarang kecuali ada hikmahnya, yaitu sebagai bentuk saddudz dzari’ah (tindakan preventif) supaya tidak terjatuh dalam perbuatan ghuluw dan ini menunjukkan kasih sayang beliau ? kepada umat Islam. Dan sebaliknya jika kaum muslimin melanggar anjuran beliau ?, maka pasti akan terjatuh kedalam fitnah. Kalau para pembaca mencermati apa yang dilakukan para peziaroh ke kuburan Nabi ? atau wali-wali, bukan hanya berdo’a dan istighotsah saja bahkan sampai ruku’ dan sujud semata-mata untuk ahli kubur dalam keadaan khusu’ dan khudhu’ (penghinaan diri) yang tidak bisa dihadirkan kondisi seperti itu ketika beribadah di masjid-masjid Allah ? . Wallahul Musta’an
Wallahu ‘A’lam bish Showab

Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=9

Tinggalkan komentar