Shalat di Atas Pesawat dan Jarak Safar

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Jawab:
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menjawab, “Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya, terhitung dari batas daerahnya. Tentang shalat di atas pesawat, orang yang biasa naik pesawat di zaman sekarang ini akan menyaksikan bahwa pesawat memiliki kelebihan dari sisi kenyamanan di mana penumpangnya tidak merasa sedang terbang di antara langit dan bumi.
Beda halnya dengan kapal laut, di mana terkadang memberikan goncangan kepada penumpangnya, lebih besar daripada goncangan pesawat. Karena itu orang yang mengendarai pesawat, bila memang pesawatnya besar, luas dan lapang, ia akan mendapati tempat kosong yang di situ ia bisa berdiri dan duduk saat mengerjakan shalat.
Inilah yang wajib berdasarkan kaidah yang telah lewat penyebutannya:
اتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Termasuk kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin shalat di atas pesawat adalah memerhatikan pada awal shalatnya di mana arah kiblat, bila memang memungkinkan untuk mengetahuinya, kemudian ia shalat menghadap kiblat tersebut. Setelah itu tidak menjadi masalah pesawatnya menghadap ke mana saja, mengarah ke kiri atau kanan. Ia tetap melanjutkan shalatnya sesuai dengan arah awal ia menghadap (walaupun ternyata tidak lagi menghadap kiblat karena arah pesawat telah berubah, pent.)
Yang penting, ada dua perkara yang harus diperhatikan oleh penumpang pesawat, penumpang kapal, atau penunggang hewan.
Pertama: Bila mampu untuk berdiri dan duduk dalam shalat, hendaklah ia melakukannya. Bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya seperti orang yang mengendarai mobil, hendaknya ia turun dan shalat sebagaimana biasanya.
Kedua: Ia memulai shalatnya di atas kendaraan yang ditumpanginya dengan menghadap kiblat, setelah itu tidak menjadi masalah bila mobil, pesawat, atau kapal yang ditumpanginya, ataupun hewan (yang ditungganginya) itu bergerak sehingga arah kiblat berpindah. Kecuali bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya, maka ia shalat seperti biasanya.
Tentang safar, tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya. Bisa kita lihat hal ini dalam firman-Nya:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
“Apabila kalian melakukan perjalanan di muka bumi (safar) maka tidak ada dosa atas kalian untuk kalian mengqashar shalat.” (An-Nisa`: 101)
Lafadz:ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ merupakan ungkapan dari safar, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkannya secara mutlak (tanpa pembatasan ini dan itu…, pent.)
Demikian pula dalam firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Siapa di antara kalian yang sakit atau dalam keadaan safar, maka (ia boleh meninggalkan puasa) dengan menggantinya pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Dengan demikian yang benar dari pendapat yang ada di kalangan ulama tentang pembatasan jarak safar adalah tidak ada batasannya. Setiap itu disebut safar, menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tersebut safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, “Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menurut ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i. (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227)

Mengajari Orang Tua Shalat

Nenek dari ayahku tidak pernah luput mengerjakan shalat lima waktu, hanya saja yang disayangkan shalatnya salah dari awal sampai akhir. Di mana ia terkadang tidak ruku’, terkadang tidak membaca tahiyyat, sebagai gantinya ia membaca Al-Fatihah saat duduk tasyahhud. Bahkan ia melakukan salam di setiap satu rakaat. Tentunya kami tidak senang dengan apa yang dilakukannya. Ketika saudaraku yang tertua berusaha menjelaskan bahwa shalatnya salah, ia malah mencerca dan mencela kami lalu menangis. Sekalipun misalnya kami bisa mengajarinya shalat yang benar, ia tidak mampu melakukannya karena sudah terbiasa dengan shalatnya yang salah. Bila demikian berdosakah nenek kami tersebut? Apa yang wajib kami lakukan dalam hal ini? Berilah kami fatwa, semoga anda mendapatkan pahala karenanya.
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullahu menjawab, “Wanita tua itu tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: akalnya sudah berkurang/tidak sehat lagi, hingga ia tidak paham apa yang dikatakan kepadanya. Bila seperti ini keadaannya maka tidak ada dosa baginya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (At-Taghabun: 16)
Selama kalian menjelaskan kesalahannya namun ia tidak mampu memahaminya maka tidak ada dosa baginya, Insya Allah, karena demikian puncak dari kemampuannya.
Kedua: akalnya masih sehat, ia melakukan shalat yang demikian dikarenakan kebodohannya, maka ia tidak diberi udzur. Karena orang yang bodoh bila mendapatkan orang yang bisa memahamkannya serta mengajarinya berarti hilanglah udzurnya dan wajib baginya untuk mengambil jalan kebenaran.
Maka yang wajib kalian lakukan adalah terus mengulang-ulang untuk memberikan pemahaman kepadanya, menakut-nakutinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan shalat yang biasa dikerjakannya belum memenuhi kewajibannya (karena shalatnya salah). Ini upaya yang dapat kalian lakukan. Bila ternyata nenek kalian bisa lurus maka alhamdulillah, bila tidak maka kalian telah menunaikan apa yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. (Majmu’ Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 1/355,356)

Wanita Shalat Berjamaah

Tanya: Bila ada beberapa wanita dalam sebuah rumah, apakah salah seorang dari mereka wajib mengimami yang lain dalam pelaksanaan seluruh shalat fardhu?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullahu menjawab, “Iya, boleh bagi wanita untuk mengerjakan shalat fardhu secara berjamaah, di mana salah seorang dari mereka bertindak sebagai imam. Imam mereka ini tidak berdiri di depan, namun berdiri sejajar dengan makmumnya di dalam shaf.
Kalau ditanyakan apakah shalat berjamaah ini wajib bagi wanita? Maka dijawab, tidak wajib. Karena kewajiban berjamaah hanya dibebankan kepada laki-laki. Namun boleh atau bahkan disenangi wanita shalat secara berjamaah.
Apakah shalat berjamaahnya ini lebih utama/afdal dari pada shalatnya secara sendiri-sendiri? Kita harapkan demikian, Insya Allah. (Majmu’ Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 1/346)

Sumber : http://asysyariah.com

Tinggalkan komentar